Friday, January 8, 2010

Nyata


Langit pagi hari ini masih tinggi, dan aku terbangun oleh raungan gelisah lelaki di sebelah kamarku. Laki-laki dungu yang hanya bisa mempertontonkan dadanya yang berbulu lebat lalu dengan bangga menepuk dadanya itu dengan keras. Mempertontonkan lukisan lebam biru,hasil karya terbesarnya langsung di mata kiri istrinya. Dia tidak lebih dari bukti bahwa teori evolusi tentang Manusia Kera itu nyata. Bahwa makhluk primitif itu masih hidup dalam keberadaan yang diakuinya sebagai sebuah "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Dan kali ini aku mendengus dengan keras.

Sebuah nyanyian lirih terdengar dari sisi kamarku yang lain. Seorang wanita pribumi, yang wajahnya selalu lebih putih dari warna kulit lehernya sendiri. Kami sering bercakap-cakap sejenak di depan pintu kamarnya. Kenyataan yang terjadi adalah aku tak pernah menyimak satupun apa yang dikatanya. Mataku hanya tertuju pada dadanya yang besar secara tidak wajar. Dadanya seakan-akan semakin merapat ke dadaku. Dan aku pun gelisah. Berharap semoga wanita itu dan dadanya tidak ikut beserta di dalam mimpi-mimpiku. Aku mengelus perutku. Mual.

Aku beranjak keluar kamar. Baju kerja oranyeku berkibar-kibar tersentuh cahaya. Sebentar lagi kami berdua akan bermain-main bersama kotoran-kotoran manusia. Dan tak pernah sekalipun aku ingin memakai penutup udara. Bagiku, kotoran-kotoran itu adalah wangi yang tak pernah kujumpa di dalam "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" tadi. Lega.

Langkahku berbelok tepat sebelum bayanganku mendahuluiku. Menjemput seorang teman lain menuju ke tempat kerja kami. Dia seorang laki-laki keturunan india, yang selalu berbicara sambil mengoyang-goyangkan kepalanya. Entah apakah dia pun akan menari-nari mengitari pepohonan dan berguling-guling di taman bunga bersama kekasihnya, persis seperti film-film india bajakan yang sering kami tonton bersama. Aku tak peduli. Seperti halnya aku pun tak peduli bila dia berbicara sambil menyemburkan rintik-rintik ludah yang tak pernah ia sadari. Mungkin Sabtu nanti akan kuajak dia menonton dangdut saja, biar dia bungkam bersama manisnya kenyataan bahwa Kopi Dangdut lebih nikmat dari pada kopi susu.

Perjalanan kami sangat lambat. Peluh datang sebelum kami panggil. Haus minta makan sebelum kami cecoki dengan nasihat-nasihat sambal terasi. Sebelum aku buka suara lagi, sebuah mobil hitam mahal melaju kencang persis di depanku. Aku tersungkur dan belum sempat terpesona oleh mahalnya mobil itu. Lalu semua padam!

Hamburg, 05.12.2009 Pkl 00.51

Oleh : Megah

1 comment:

  1. di akhir cerita tu kamu ketabrak ato kecipratan air (yang terakhir ini imajinasiku)....????

    ReplyDelete