Kami duduk berhadapan di dapur rumah kami yang kecil dan hampir sesak oleh desah nafas kami sendiri. Kami saling menatap, mempermainkan kata-kata dalam pikiran masing-masing. Lama aku menatapnya. Menatap putri kecilku, yang harganya lebih murah dari harga seekor sapi di kampungku. Itu kata suamiku dahulu, seorang pria dengan sepasang tanduk yang direkatkan kuat-kuat plakat bertuliskan "Produk Sisa Patrilineal".
Aku menghela nafasku lagi, lalu teringat betapa bencinya nenekku mendengar seseorang menghela nafas dengan begitu berat dan dalam.
"Itu cuma pekerjaan orang-orang malas yang bisanya mencuri dan menghidup udara orang lain!", begitulah kata nenekku sambil mengunyah sirih pinang yang menghitamkan giginya hingga ia mati terbaring kaku di kuburannya.
"Ibu", kata putriku memecahkan kesunyian yang semenjak tadi tak berani kupecahkan.
"Ya, ada apa Sayang?"
"Ibu, apakah Cinta itu?"
Aku terhenyak, meletup-letup seperti petasan kosong. Aku berpadu bersama dekorasi hitam putih hasil Primbon omong kosong diriku sendiri.
"Cinta? Aku tak tahu apa artinya Cinta.", sahutku pelan dan takut.
"Apakah Ibu mencintai ayahku, suamimu?"
"Entahlah Sayang. Yang kutahu dia memilihku untuk menjadi istrinya. Itu saja sudah cukup bagiku."
"Mengapa Ibu mau menikahi ayahku?"
"Karena dulu bauku seperti bau ampas kelapa buatan ibuku di kampung. Dan hanya dia yang mengatakan bahwa bauku adalah bau Cinderella."
"Siapakah Cinderella itu Ibu?", matanya semakin merapat ke hatiku.
"Dia adalah seorang gadis yang ada di dalam buku cerita usang yang ditemukan ayahmu di pasar malam."
"Berapakah harga buku itu Ibu?"
"Ibu pikir harganya Rp 1.500, Sayang"
"Apakah cinta Ibu seharga Rp 1.500?"
Aku menelan ludahku sendiri. Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya kami berbincang di sini.
"Kemiskinan kami sama beratnya di Timbangan, Sayang!"
"Apakah Ibu pernah merasakan cinta?", putriku terus bertanya mengejar-ngejarku ke dalam gelombang keputusasaanku.
"Aku mencintaimu Sayang!"
"Aku tahu Ibu mencintaiku. Yang kumaksud adalah cinta yang Ibu pendam untuk ditangisi sendiri."
"Airmataku tidak pernah kugunakan untuk hal semacam itu Sayang. Airmataku lebih berguna untuk mencuci pakaian dalam ayahmu, suamiku"
Aku mulai mendesis lalu menghela nafasku sekali lagi. Membayangkan nenekku, entah di neraka atau surga ia berada saat ini sedang memaki-maki diriku.
Putriku terlalu kecil untuk mengerti betapa pedihnya hatiku tentang cinta itu. Cinta yang tidak pernah kurasa, cinta yang tidak pernah kuterima, dan cinta yang tidak pernah kucoba.
"Mengapa engkau bertanya tentang Cinta, Sayang?"
"Karena ayah menyuruhku bertanya padamu Ibu.", jawabnya lugu.
Aku kini tersenyum, lebih pahit dari secangkir kopi yang tiap hari kuseduh untuk suamiku.
"Bagaimana baumu Sayang?"
"Katamu, bauku sangit"
"Dan sekarang pergilah dan katakanlah pada ayahmu, Cinta Ibu seperti baumu. Sangit!"
Hamburg, 02.12.2009 Pkl 16.03
Oleh : Megah
No comments:
Post a Comment