Friday, January 8, 2010

Generasi Ke-7


Kita masih terlalu muda untuk mengetahui bahwa terkadang kematian lebih indah dari pada kehidupan. Ketika banyak orang memilih untuk menceburkan dirinya ke kali kuning di sebelah rumah kita, kita malah lebih asyik buang hajat disana. Kita adalah masyarakat miskin kelas 4 yang tidak sempat naik kelas lagi semenjak nenek dari nenek dari nenek kita dahulu. Dan mungkin saja kita pun akan mati sebagai lulusan terbaik dari generasi ke-7. Mati sebagai tukang minta-minta atau pengamen dengan suara pas-pasan bahkan terkesan memaksa. Yang membedakan kita dengan generasi sebelumnya adalah kita masih punya waktu untuk menyepuh perhiasan-perhiasan kita dengan emas kuningan murahan.

Kita masih berbicara dalam bahasa anak-anak dan bernyanyi dengan nyanyian anak-anak. Kita tidak paham bila jaman generasi kita adalah jaman Euphoria. Ketika banyak orang lebih memilih memakan bulat-bulat impian yang yang disajikan di Televisi tanpa mencernanya lagi.Kita bahkan tidak tahu tentang Rindu Band atau sinetron-sinetron berjudul Sampah.Kita malah asyik mendengarkan dongeng-dongeng klasik yang tak pernah ada dari ibu kita yang buta huruf itu. Dia adalah generasi sebelum kita, yang menikah sebagai istri ke-5 untuk menghindari sebutan perawan tua. Padahal saat itu usianya pun belum genap 13 tahun.

Kita hanya memiliki sebuah celana rapuh, yang terlalu sering di cuci dan dipakai lagi. Bahkan kau memiliki 2 lubang besar tepat di sisi pantatmu. Kita lebih memilih bertelanjang dari pada memakai celana itu. Kita bahkan tidak punya waktu untuk merengek-rengek pada ibu meminta dibelikan celana baru. Dia terlalu lelah berkeliling pasar setiap hari untuk mencari duit-duit receh yang tak sengaja jatuh. Sedangkan ayah kita asyik berkelana mencari calon istrinya yg kesekian. Tanggung jawab ayah hanya memberikan 5 genggam beras setiap bulannya. Dan selebihnya kita memakannya lewat saluran pernapasan saja.

Bulan kemarin kau jatuh sakit, terkena penyakit miskin. Ibu menangis tak karuan karena tak punya uang untuk memanggil dokter. Dan aku hanya bisa membantunya memanggil dukun beranak, yang bahkan tak punya ijin praktek dari Kementrian Usaha Dalam Negeri. Untunglah kau masih hidup dan bertahan, atau lebih tepatnya kau bertahan karena diiming-imingi gula-gula impianmu yang 99% bahannya adalah pengawet. Yah kita masih terlalu muda dan kecil untuk memahami bahkan setelah menelan manisnya gula-gula itu, 1 % sisanya cuma omong kosong biasa.

Hari ini kita berjanji akan berkelana menuju kota sebelah dan ibu tidak ikut bersama kita. Biarlah dia tetap menjadi generasi ke-6. Kita terbangun sangat pagi dan diam-diam menyelinap keluar rumah. Cuma pesan terakhir yang kita tinggalkan. Sepasang celana rapuh kita di sisi ibu yang masih terlelap. Tanda ucapan selamat tinggal, selamat tinggal dari generasi ke-7.

Hamburg, 06.12.2009 Pkl 18.39

Oleh Megah

2 comments:

  1. di sini modernisasi selalu belum selesai mbak, dan tak mungkin akan pernah selesai.karena kita mulai menapakinya dengan memaksa kaki memakai sepatu pentovel sedangkan iklim tropis kita akan membuat kaki manjadi sarang kutu air. dan saya yakin di jerman pun modenisasi juga tak akan pernah selesai.dan lalu mengapa dipaksakan muncul generasi nomer angka yang membuat kita semakin terantuk antuk dengan deret hitung yang dibuat oleh sejarah?........salam kenal.

    ps : asik foto siluet kuningnya di fn mbak

    ReplyDelete
  2. bagi saya angka adalah suatu simbol bukan sesuatu yg mutlak namun penting utk diketahui. berapa banyak sejarah yg kemudian dirubah dan berapa banyak angka yg kemudian hilang tanpa jejak dan tidak ada yg peduli kenapa angka2 itu menghilang. Kita harus kritis atau krisis ini akan terus berlanjut pada generasi seterusnya. saya menyukai modernisasi yg beradab bukan asal gusur dan asal nyampah.
    makasih buat pujiannya,salam kenal mas :)

    ReplyDelete