Wednesday, December 1, 2010

Bungkam


Lama sebelum hariku mati, saya duduk bungkam di depan sebuah kesetiaan. Bungkam menahan kesendirian dan kedinginan. Bungkam merasakan keindahan yang lama tak terasa. Namun saya bungkam, bukan muram. Saya juga bungkam,bukan dendam.

Tiba-tiba benda hitam di samping benda yang lain berdering amat keras,bahkan teramat keras. Sebuah nama tak tertera muncul di antara cermin dunia lain itu. Lalu saya mengangkatnya dengan sapaan basa basi yang sudah teramat basi, "Hallo!".
Ternyata seorang kawan lama hendak menyapa hanya untuk mengatakan bahwa dia merindukan saya. Hmmmm saya hanya sempat berpikir sebentar untuk mencerna kata-katanya karena sudah hampir seabad kami tak berjumpa. Kami pun tidak pernah bertukar kata lebih dari 1000 kata. Sangat membosankan.
Kemudian dia, yang seorang pria, terus meluncurkan semua bahasa yang ia ketahui. Bercerita tentang liburannya yang menyenangkan ke negeri yang bahkan tak dapat kujangkau. Dia bercerita tentang pertemuannya dengan sebagian besar kawan yang bahkan tak kuketahui. Saya hanya bungkam,namun bukan geram.

Dia,yang tak perlu saya sebutkan namanya, pun bertanya bagaimana kabar saya saat ini. Saya memutar-mutar mata saya karena kabar saya selalu tak biasa. Kadang saya mati rasa, kadang saya mati raga. Cukup bervariasi. Dan seperti biasa pula variasi itu saya tepis dengan jawaban monoton "Baik-baik saja". Dan setelah itu muncul pertanyaan-pertanyaan baru tentang keingintahuannya. Saya ragu menjawab karen kadang manusia harus berhati-hati dengan keingintahuannya. Karena manusia lebih mudah menerima kebohongan daripada kenyataan. Dan jangan tanya "Mengapa?".
Saya hanya menjawab kembali seadanya. Memang apa yang harus saya suguhkan saat itu. Saya hanya punya modal dengkul. Modal lain sudah saya habiskan bersama waktu.
Dia mengakhiri percakapan kami dengan sebuah berita bahwa dia ingin bertemu dengan saya untuk mengungkapkan sesuatu. Tiba-tiba jiwa saya yang tadi bungkam menjadi buram. Kepala saya penuh dengan penyesalan, mengapa saya harus menanggapi deringan itu tadi. Kebiasaan buruk dan semoga tidak saya lakukan lagi nanti.
Kemungkinan-kemungkinan baru bermain-main di dalam otak saya. Ketakutan bahwa akhirnya ada orang seperti dia yang berani mengusik kesendirian saya. Terus terang saya sendiri,bukan kesepian. Nilai-nilai mutlak dalam harga diri saya terlalu tinggi sehingga saya tak punya label imitasi untuk itu. Dan saya cuma takut label itu akan rusak oleh sebuah perasaan baru. Saya wanita, yang lebih banyak berpikir dengan perasaan. Hati saya lemah gemulai.

Kembali kepadanya, saya katakan bahwa saya hanya punya waktu setelah langit berwarna Vanilla. Dia pun setuju karena dia memang menyukai warna itu. Dan karena warna itu,saya sudah menyiapkan sebuah jawaban. Kami menutup percakapan kami kini tanpa basa-basi lagi.
Saya diam sesaat namun kini bukan bungkam. Saya mengepak semua kebungkaman itu untuk sebuah pertemuan baru. Pertemuan Vanilla. Mungkin setelah itu, saya yang akan membungkamkan pria itu.




No comments:

Post a Comment